Langsung ke konten utama

MENJELANG PAMERAN KELAS

Pagi ini adalah pagi yang cerah, aku terbangun dari tidurku, merasakan hembusan udara pagi yang masuk melewati jendela kamarku, aku melihat sebuah jam kecil diatas meja belajar menunjukkan pukul 5.30, di samping kanan kiriku masih terlihat teman-temanku yang masih nampak pulas dengan tidurnya. Aku tinggal diasrama kecil didalam sekolahku, satu kamar yang berjumlah 5 orang, aku, Defi, Lala, Febri, dan Arum. Sejak kelas satu kami sekamar, tidak menyangka tiga tahun terasa begitu singkat, dan sekarang aku sudah kelas tiga dan menuju detik-detik akhir perpisahan, tryout demi tryout sudah aku lalui bahkan ujian akhir nasional pun sudah aku lewati. Masa-masa terindahku di smp , akankah aku bisa merasakan suasana itu kembali diwaktu aku sma? Entahlah. Aku bangun dan segera mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah.
“teeet-teeeet” bel masuk pun berbunyi, aku masih berada dalam kamar asrmaku, tetapi bukan hanya aku, hampir semua anak asrama masih dengan santainya di dalam asrama. sudah menjadi ciri khas  bagi  anak asrama,  seenaknya dan selalu berangkat telat, tidak ada kata hukuman yang menghantui mereka. anak asrma berangkat kesekolah tidak melewati gerbang utama, sedangkan anak luar jika datang pasti melewati gerbang utama, kalau telat pun mereka pasti terkena point dan disuruh membersihkan halaman. memang sudah resiko bagi anak luar dan menjadi keberuntungan bagi anak asrama. Walaupun begitu aku juga masih sering telat ketika berangkat dari rumah ke sekolah ketika hari senin.
 waktu sudah mnunjukkan pukul 07.15, aku segera menuju ruang kelasku yang jaraknya tidak begitu jauh dari asramaku, kira-kira sepuluh meter. Ruang kelasku begitu strategis, terletak diantara kopsis dan pepustakaan. aku masuk ke ruang kelas, keadaan kelas masih begitu ramai itu artinya belum ada guru yang memasuki ruang kelasku, aku menghembuskan nafas lega setelah duduk di bangkuku yang letaknya nomor dua dari belakang. “fir, waktunya siapa sekarang? Tumben belum ada gurunya?” tanya ku kepada fira teman sebangkuku.
“pak budi mi,  iya yah, tumben pak budi kosong”. jawaban fira yang pemikiranya selalu hampir sama denganku, selalu bete jika waktunya pak budi, guru matematika yang sangat dan amat membosankan.
“oh iya fir, gimana nih pameran kita, kurang tiga minggu lagi, kok anak-anak belum ada yang bahas ini yah?” kataku kepada fira.
“gak tau juga mi, anak-anak masih pada sibuk bikin kerajinanya buat nilai individunya, lagian kamu lupa yah kalau wali kelas kita tuh guru seni budaya. Udahlah mia tenang aja, tugas individuku  aja belom selesai, emang kamu uda?” jawab fira dengan nadanya yang enteng.
“tapi fira... masalahnya anak-anak kelas lain tuh sudah pada nentuin temanya, bahkan udah ada yang mulai merancang dekorasi untuk kelasnya. Masa kita tenang-tenang aja sih! Paling enggak kita tuh sudah punya tema!”.
 “alah mi, pusing aku. Tuh tanyain aja ke Yoga, ketua kelas kita yang super disiplin tuh aja masih tenang-tenang aja, kok jadi kamu sih yang heboh”. Huh, aku mulai bete sama fira. Yoga memang anaknya terkenal disiplin, tegas, dan pintar diseantero sekolah. Tidak  perduli itu teman bahkan cewe yang disukainya, dimata yoga semuanya sama kalau masalah ketertiban dan keamanan, apalagi kalau anak-anak ramai waktu pelajaran, wah, jadi anak emas dimata guru-guru, apalagi pak budi, suka sekali sama anak-anak yang disiplin seperti yoga, sayangnya anak disiplin di kelas 9E ini hanya yoga.
“terserah deh”. Aku menjawab dengan nada kecewa.
Dua jam pelajaran matematika pun kosong. Aku tidak henti-hentinya mikirin pameran itu, kenapa anak-anak begitu nyantainya dengan pameran besok, padahal waktu kurang tiga minggu lagi, dan kelasku pun belum ada persiapan sama sekali, bahkan tema pun belum ada. Dari berbagai info dari anak kelas lain sudah banyak yang menentukan temanya. Nggak kaget kalau semua guru-guru disekolahku bilang kalau anak 9E memang males-males, bandel, cerewet, suka bantah kalau ditentang guru, satu hal lagi yang menjadi ciri khas nomor satu untuk kelas 9E : suka bohong sama guru-guru yang pelupa kalau memberi tugas pada siswanya. Haha. sudah terkenal bandel sejak awal kelas 9.  Tapi.. itu semua adalah momen-momen terindahku di SMP. Suka duka bersama. Rasanya ingin tinggal di SMP selamanya. tapi sayang, masa aktifku di SMP hanya kuarang beberapa bulan lagi. Aku kembali teringat masalah pameran, kekesalan ku sama anak-anak kelas mulai muncul lagi. Yoga hari ini juga nggak masuk, padahal aku mau ngomongin masalah pameran ini. Kata anak-anak sih yoga nggak masuk karena malu sama Fani, teman sekelasku yang sejak awal di taksir sama yoga, bahkan sudah sampai lima kali yoga nembak fani, tapi sayang, hati fani bukan untuk yoga. Dan kemaren adalah hari mengharukan bagi kelas kami, hari dimana yoga mengungkapkan perasaan yang terakhir kalinya, fani marah besar sama yoga dan  menyuruh yoga supaya tidak mengganggu Fani lagi. Yoga kecewa berat  dan entah malu atau apa sehingga yoga hari ini tidak  masuk sekolah, benar-benar kasihan. Padahal menurut aku yoga sama fani pasangan yang serasi, yoga tinggi dan manis, fani pun nggak beda jauh.
Malam ini aku tidak berada diasrama, ibuku menyuruhku untuk pulang karena ayah sedang menghadiri workshop di luar kota selama tiga hari, ibuku memang penakut, tidak pernah berani kalau dirumah sendiri, padahal ada mbak lirah yang biasanya bantu-bantu dirumahku. Malam ini benar-benar sepi, karena rumah hanya ada aku, ibu, dan mbak lirah. Berbeda ketika aku diasrama, banyak anak dan selalu ramai. Aku duduk dicendela sambil memandang keluar rumah, rintik-rintik hujan yang turun dan semilir angin yang masuk melewati celah-celah rumahku. aku merenung, teringat canda tawa teman-temanku disekolah, aku tertawa sendiri ketika mengingat hal-hal lucu yang pernah aku lakukan bersama teman-temanku. Tapi aku sadar, waktuku diSMP hanya kurang beberapa bulan lagi, berat rasanya meninggalkan semuanya.
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah menuju ke ruang kelasku, sekolah belum terlalu ramai, itu bertanda bahwa aku berangkat lebih awal hari ini. Dari kejauhan aku melihat seorang cewek duduk bersandar disebuah kursi panjang terbuat dari batu di depan kelasku dan memandang lurus kedepan dengan tatapan kosong.. nggak biasanya fani berangkat jam segini.
“tumben mi, datang pagi”. Sapa fani ketika aku mendekatinya. Dia terbangun dari lamunanya ketika mendengar langkah kakiku mendekat.
“kemajuan fan”. Aku tersenyum dan mengambil posisi duduk disamping fani. “kemaren aku pulang fan, aku berangkat agak pagi biar nggak telat, kasihan buku catatan pointku, ntar nggak cukup lagi”.
“haha! Nggak cukup karena kebanyakan point!”. Fani mulai tertawa, tapi aku tau mata fani terlihat berbeda dari biasanya, terlihat tertawa yang memaksa.
“tau aja sih! Trus kamu, tumben juga berangkat pagi” aku balik bertanya ke Fani.
“mmm.. kata siapa, aku tiap hari juga berangkat pagi, kamu aja yang nggak pernah tau mi, datengmu aja selalu telat”.
“fani,, fani,, kamu kira aku nggak tau.., aku tau semua anak yang biasanya dateng pagi maupun dateng telat walaupun aku hampir nggak pernah berangkat pagi”. Aku memang selalu melihat teman-temanku lewat jendela kamar asramaku, yang kebetulan ruang kelasku sangat terlihat jelas dari asramaku, jadi, aku bisa melihat siapa saja yang datang pagi maupun datang terlambat. “kamu lupa yah kalau rumahku tuh ada disekolahan ini”.
“ketahuan deeh!”. Jawab fani pasrah
“kenapasih fan, wajah kamu kelihatan agak beda pagi ini, dari kejauhan aku liat tatapanmu kosong, bahaya tau pagi-pagi gini”.
“nggak ada apa-apa miaa..” jawab fani seraya menunjukkan kegemasanya dengan mencubit pipiku, tatapi tetap saja kegelisahan fani tidak dapat tertutupi.
“alah bohong, ayolaah faan, cerita doong, kenapa sih!”. Aku masih memaksa fani hingga ia mau cerita.
Fani tersenyum dan beberapa saat kemudian raut mukanya berubah menjadi murung dan hening selama beberapa detik, “aku merasa bersalah mi sama Yoga, aku nyesel mi, dia sekarang opname dirumah sakit, itu semua gara-gara aku mi, aku bingung  apa yang harus aku lakuin sekarang. Aku kemaren keterlaluan banget ya mi waktu bentak-bentak yoga dihalaman?”
“hahaha..!! fani.. fani..!!”Bukanaya aku malah bersedih mendengar berita bahwa yoga sekarang diopname, aku malah pengen tertawa sekeras-kerasnya mendengar kata-kata Fani. aku nggak menyangka kalau Fani bakalan nyesel sampai seperti orang kesambet, bengong mulu. Sepertinya sudah mulai timbul benih-benih simpati nih! Haha! Itu bertanada bahwa hati Fani udah nggak seperti batu lagi alias luluh,  Aku ketawa geli melihat fani.dan fani pun tersipu malu. itulah akibatnya kalau terlalu benci sama seseorang.
Selama pelajaran berlangsung, masih terlihat raut wajah fani yang menunjukkan kegelisahan, mengahadap kedepan sambil berpangku tangan tapi tatapan matanya kosong, terkadang kepala disandarkan dikursi sambil memutar-mutar bolpoinnya. Fani.. fani... aku malah seperti orang gila, senyum-senyum nggak jelas melihat tingkah aneh si Fani. Jam istirahat pun juga masih tetap sama, biasanya seorang Fani nggak pernah absen kalau ke kantin, tetapi sekarang ia hanya duduk dan kepala ditidurkan diatas meja. Setiap anak yang mengajaknya pergi kekantin ia pun hanya menjawab “iya, duluan aja” dengan pandangan kosong.
Satu minggu telah berlalu, tapi yoga masih belum juga masuk, aku semakin gelisah dengan pameran basok, kurang dua minggu lagi. Itu bukan waktu yang lama. Trus gimana sekarang, beberapa kali pelajaran pak Eko juga kosong. Aaagh! Pusing aku. Sampai sekarang pun belum ada kabar tentang Yoga. kira-kira yoga sakit apa yah, kok lama banget sih dia sakitnya, masa Cuma gara-gara dibentak fani gitu doang aja sampai kritis sih! Apa yoga sakiiit.... nggak nggak nggak, pasti waktu itu yoga hanya sakit perut biasa.
Seusai sekolah, aku, fani, danis, fira, dan reza masih tinggal dikelas, kita memang sudah janjian berkumpul sepulang sekolah. “gimana nih! Ada yang punya ide nggak?” reza mulai membuka pembicaraan.”anak-anak memang nggak ada yang peduli sama masalah ini, siapa lagi coba kalau bukan kita”.
“iya za, anak-anak terlalu meringankan masalah ini, mentang-mentang wali kelas kita guru seni. Tapi apa? Masuk aja jarang, apalagi ngurusin anak-anaknya. Aku juga nggak yakin kalau pak eko bakalan ngurusin pameran kita, ujung-ujungnya juga kita sendiri yang suruh mikir”. Aku pun menyampaikan unek-unekku selama ini tentang pak Eko yang sudah sejak awal aku merasakanya, pak eko jarang sekali masuk, bahkan pelajaran pun sering kosong, walaupun aku juga sering bosan ketika pelajaran seni.
“sekarang bagaimana? Masak yang kerja Cuma kita aja sih! 5 banding 30!” kata fira dengan nada sinis.
“enam firaa.. sama Yoga, Cuma yoganya sekarang lagi sakiit!” potong Fani dengan nada agak nggak terima sama omongan Fira.
anak-anak pun tersentak kaget dengan ucapan Fani. Kecuali aku yang terlihat biasa karena sudah tau apa yang terjadi dengan fani. sama seperti waktu pertama kali aku mendengar pengakuanya. “Apa fan! Apa aku nggak salah denger? Sejak kapan kamu mikirin Yoga! Ciyyee FANI! Kesambet dimana kamu?”semua anak-anak pun tertawa termasuk aku yang nggak tahan melihat gelagat Fani yang terlihat sangat malu.
“apaan sihh! Biasa aja kali, kan emang harus ada Yoga dalam masalah ini, dia kan ketua kelas!!”. Bantah Fani dengan nada sedikit marah.
“berarti harus ada Yoga niiiih, nggak nyeseeel, dulu aja setiap ada Yoga selalu menghindar, sekarang enggak yah! Haha..” anak-anak pun semakin bersemangat nggodain Fani, Fani pun semakin salah tingkah.
“udah-udah-udah, capek tertawa mulu, perutku sakit niih” kataku sambil berusaha mengakhiri tawaku.
“iya-iya. Kasian tuh Fani, makin memerah kayak udang rebus” sahut reza
“hahaha!!!suasana kelas pun menjadi sangat ramai, padahal sekolahan sudah mulai sepi.
    Semuanya sudah mengakhiri tawanya dan fani masih menyembunyikan mukanya dari anak-anak. Suasana mulai hening, seperti keadaan sebelumnya. Kami diam beberapa saat. “diterusin nggak nih!” kata danis memecah keheningan.
    “trus gimana dong, masa Cuma kita aja sih yang kerja!” pertanyaan yang sama dari fira yang belum sempat terjawab gara-gara Fani yang membikin suasana kelas yang sepi menjadi gaduh.
“Ya nggak lah fir! kita coba nyari tema dulu aja, ntar kalau ketemu baru kita bagi susunan kerjanya, semua anak juga pasti dapet kok, nggak apa-apa lah fir, berkorban sedikit, dari pada nggak selesai-selesai!” penjelasan danis kepada fira.
“emang diantara kita udah ada yang nemuin tema?”
Semuanya terdiam, mereka memutar-mutar otak untuk mencari tema apa yang cocok untuk pameran besok,
waktu sudah menunjukkan pukul 04.50, sekolahan sudah sangat sepi, hanya suara gaduh anak-anak asrama yang memang tinggalnya disekolahan.
“ya udah, dilanjutin besok aja sudah sore, ntar kalian kemalaman nyampek rumahnya!”aku baru sadar kalau hari sudah sore, Diantara kita berlima hanya aku yang tinggal diasrama, semuanya anak luar dan butuh waktu yang lama untuk sampai dirumah.
“Ok! tema menjadi tugas buat kita nanti malam, paling tidak besok kita udah dapat temanya dan setelah itu kita bagi susunan kerjanya”. Kata danis.
Semuanya beranjak dari tempat duduknya masing-masing, reza, fira, danis, dan fani berbelok kekanan menuju keluar, sedangkan aku ke kanan menuju asramaku, mereka semua melambaikan tanganya ke aku, dan aku pun membalasnya.
Waktu menunjukkan pukul sebelas lewat, tapi mataku masih belum bisa terpejam, diotakku hanya ada tema dan tema, tapi belum ada tema yang pas yang nyangkut diotakku. Disampingku masih ada lala, arum dan febri yang belum tidur, mereka masih asyik dengan Hpnya, sedang Defi sudah dengan nikmatnya berlayar dipulau kapuk. Aku terkejut dengan dering HP yang berada dibawahku, aku melihat dilayar hp yang tertera nama reza memanggil. “hallo”
“iya za, kenapa? Udah nemuin tema?”
“nah itu dia mi yang mau aku omongin, aku nggak bisa tidur nih!”
“mikir tema? Sama za, fira sama danis juga belum. Apalagi fani”.
“enaknya apa ya mi?”
“aku pengenya tema kita tuh paling spesial dan paling berbeda diantara yang lainya, aku pengen kelas kita nantinya tuh menjadi kelas yang paling ramai dan pengunjungnya paling banyak”.
“alah mi, nggak usah aneh-aneh, yang biasa-biasa aja belum ada. Ohya mi, kamu sudah belum bikin tugas individumu, mau bikin apa?”
 “belum za! Mau bikin apa juga aku nggak tau, males tau, aku nggak bisa za bikin kaya gituan, tau sendiri kan aku tuh orangnya nggak kreatif”. Kataku jujur.
“mia mia! dasar cewe nggak kreatif! sifat kamu yang selalu nyantai sama tugas, hahaha!”
“ohya za, aku punya ide. Gimana kalau tugas individu kita satu kelas disamakan semuanya”. Sebuah ide tiba-tiba nyangkut diotakku.
“maksudnya?” jawab reza yang belum mengerti apa yang aku maksud.
“jadi gini, dari pada kita repot-repot bikin kerajinan individu, gimana kalau per anak kita suruh bikin lukisan, nanti lukisan-lukisan itu yang kita pamerkan. Kan enak tuh, kita bikin satu kerajinan tapi sudah dapat dua nilai, individu sama kelompok”.penjelasanku kepada reza.
“yee.. emang lukisan apa mi yang mau dipamerkan? Apa menariknya?emang kamu bisa melukis?”protes reza.
“kamu tau nggak lukisan apa yang kita pamerkan?”kataku dengan semangat.“kita mencari sebuah iklan, tapi.. iklanya tuh dipleset-plesetin, jadi kan lucu tuh! Nanti iklanya kita gambar dikanvas, lagian aku yakin kok! Anak-anak pasti banyak yang belum bikin kerajinan individu, kan untung juga buat  anak yang udah buat bisa dapat dua nilai individu. Masalah melukisnya mah gampang, om ku juga pelukis, tinggal bawa kesana aja. Masalah lukisanya ntar serahin ke aku deh! Setuju nggak!!!
“yeah. Bilang aja kalau nggak mau bikin kerajinan banyak-banyak!”. ternyata reza bisa menebak maksut lain dari ideku.”tapi.. bagus juga sih!, pasti semua pengunjung yang masuk dikelas kita bakalan sakit perut nih! Haha!! Bagus bagus mi!!!”nada suara reza yang terdengar lebih bersemangat dari sebelumnya.
“ngomong aja dari tadi, pakai nuduh  yg nggak-nggak lagi, tp za...belum tentu anak-anak yang lain setuju”.
“aku yakin pasti setuju mi! Kayak nggak tau anak-anak aja, mereka tuh tinggal menerima hasil, kalau sampai mereka protes, ya udah suruh kerja sendiri aja!”kata reza dengan sedikit emosi.
“haha!! Ya udah za. Sudah dulu yah! Mulai ngantuk nih!”
“ya udah, sampai jumpa besok yah mi,bye..!”
Pukul 24.00 tepat aku baru mengakhiri percakapanku dengan reza di telfon. Tapi rasanya lega banget, nggak tau kenapa tiba-tiba ide itu muncul ditengah-tengah percakapanku dengan reza. Akhirnya, aku bisa tidur nyenyak juga malam ini walaupun Cuma beberapa jam.
Pagi harinya aku bangun pukul setengah tujuh, seperti biasa aku telat lagi masuk kelas. Tapi aku agak santai, sejak selesai UNAS pelajaran kelas tiga banyak yang kosong. Sebelum memasuki kelas ternyata reza, fani dan fira sudah menungguku di depan. Dan reza juga sudah memberitahukan kepada anak-anak tentang ide yang aku temukan semalam, semua anak pun setuju, aku pun sudah mengira demikian, karena mereka tidak perlu susah-susah untuk melukis dan semuanya sudah aku serahkan ke om dani.  anak-anak Cuma bisanya terima jadi, tapi nggak papa lah, dari pada nggak selesai, harus sedikit berkorban. Yang lebih leganya lagi ternyata pak Eko juga menyetujui tema kami. jadi, pembagian susunan kerjanya harus selesai hari ini.
Dua minggu ini aku dan anak-anak harus bekerja keras, waktu hanya tinggal satu minggu lebih. Seusai pembagian susunan kerjanya danis wakil ketua kelas pun membacakanya di depan kelas, semuanya sudah sepakat dan diberi tugas sesuai dengan keahlianya masing-masing.  Aku, Fira, dan Fani menyusun segala peralatan dan perlengkapan apa saja yang dibutuhkan. Dan anak yang bertugas sebagai seksi dekorasi pun mulai merancang dekorasi kelas kami, sedang yang lainya mecari ide sofenir untuk pengunjung.
Hari ini adalah hari yang melelahkan, semua persipan sudah selesai, besok adalah hari berbelanja besar-besaran membeli semua perlengkapan dan alat-alat yang dibutuhkan. anak-anak pun terlihat sangat kompak, apalagi anak-anak cowok, nggak menyangka mereka bakalan ikut kerja. Terkadang ketika anak-anak cewek lagi kerja bikin sofenir anak cowok yang beliin makanan dan minuman. Benar-benar melelahkan.
Hari berganti hari, semua persiapan kelengkapan pun sudah mulai selesai, semua lukisan pun sudah jadi, tinggal satu hal lagi yang harus kami lakukan, yaitu mendekor kelas pada hari terakhir pelaksanaan pameran, dan besok adalah hari terakhir itu. aku berharap mudah-mudahan pameran ini berjalan dengan lancar dan sesuai dengan apa yang aku harapkan. Sore ini aku akan mengambil semua lukisan yang aku lukis di rumah om Dani, orang yang dari dulu aku janjikan kepada teman-temanku untuk melukiskan semua lukisan ke padanya. Tidak apa-apalah, berkorban sedikit demi teman. Aku pergi hanya berdua dengan Fani. om dani juga sudah berjanji bahwa akan membantu mengantarkan lukisan-lukisan ini kesekolahan, karna jumlahnya cukup banyak.
Hari ini adalah hari terakhir, Sekolahan sore ini sangat ramai, dipenuhi anak kelas 9 yang menghias kelasnya masing-masing. Acara menghias kelas ini pun berjalan dengan lancar, sampai-sampai ada yang tidak pulang menunggu kelasnya masing-masing.
 keesokan harinya, adalah detik-detik yang kita tunggu. Semua acara sudah tersusun dengan rapi. Kelas pun begitu indah layaknya ruang pameran sungguhan. ada yang berjaga diluar kelas, dan ada pula yang berjaga didalam, membagi sofenir-sofenir kepada pengunjung, seksi dokumentasi mulai keliling-keliling ruang pameran untuk merekam kegiatan pameran ini, semua anak pun ikut berpartisipasi.
Acara pameran berjalan dengan lancar, kelasku menjadi kelas yang paling ramai diantara kelas-kelas lainya, terdengat tertawa yang terbahak-bahak oleh setiap pengunjung yang memasuki kelas kami melihat semua lukisan-lukisan yang bertema humor ini. Tapi kebahagiaan kelas kita tidak bisa dirasakan oleh yoga yang sedang lemas takberdaya dirumah sakit, setelah pameran usai orang tua yoga ke sekolahan memberi kabar bahwa Yoga ternyata terkena penyakit liver. Semuanya pun terkejut, ternyata diatas kebahagiaan kami, diatas keramaian ini masih ada yang menderita dan tidak bisa merasakan kesuksesan kelasnya. Fani pun sangat terpukul mendengarnya, belum sempat kata ma’af itu terucap dari bibir Fani.
“yang sabar ya fan, masih ada kesempatan untuk mintak ma’af ke yoga. ntar mau ikut nggak ke rumah sakit bareng anak-anak?” kataku menghibur fani ketika sedang menangis dihadapanku, aku tau perasaan Fani yang begitu menyesal, selama ini Fani belum sempat menjenguk Yoga, Fani selalu menolak ketika aku ajak menjenguknya, padahal aku dan anak-anak  sudah tiga kali menjenguknya. Fani selalu dihantui dengan perasaan menyesal tapi Fani takut untuk meminta maaf bahkan menatap wajahnya pun ia tidak tega.
“ia mi, aku mau ikut, tapi aku takut ketemu yoga”.
“kalau kamu takut ketemu Yoga, trus kapan kamu mintak maaf sama dia, Yoga menunggu kamu fan, walaupun hati kamu belum sepenuhnya untuk Yoga, paling tidak kamu sudah datang kesana untuk menjenguk dan meminta maaf” kataku memberi semangat Fani. Fani mengangguk dengan pasrah.
    Permintaan maaf fani pun diterima, walau pada awalnya Yoga sempat menggoda Fani dengan tidak menerima permintaan ma’afnya, tapi Fani terus dan terus memaksa. Rumah sakit pun begitu ramai dengan adanya kehadiran kami satu kelas, disana Yoga kami lihatkan  rekaman-rekaman kelas mulai dari menjelang persiapan hingga pameran itu tiba. Yoga berjanji bahwa ketika acara wisuda itu Tiba, dia akan datang. Tapi, melihat kondisi Yoga yang tidak memungkinkan, ternyata Yoga menepati janjinya dan datang ke acara wisuda itu.
    Momen-momen terakhir yang begitu indah.... ^_^

TAMAT
      



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analis film I Not Stupid Too Menurut Teori Psikologi

Review film I Not Stupid Too Film ini menceritakan tentang persahabatan dua orang remaja yang bernama Tom dan Chenchai, mereka adalah murid di sekolah “Singaphore High School”, mereka termasuk murid yang bandal di sekolah namun mereka sebenarnya adalah anak yang pintar, namun karena guru dan orang tua yang salah dalam mendidik jadilah mereka yang seperti itu. Dimulai dari sekolah, mereka yang berada di dalam suatu kelas regular dengan seorang guru yang selalu fokus pada kekurangan mereka, selalu memarahi murid-muridnya ketika tidak mengerjakan PR dan mendapat nilai yang buruk. Ada salah seorang guru bahasa china yang tidak bisa mengajar dengan baik di kelas, metode pembelajaran beliau disamakan dengan metode belajarnya dulu ketika beliau bersekolah, sehingga pembelajaranya pun susah dimengerti oleh murid-muridnya. berbeda dengan kelas lain , murid-muridnya berkata bahawa “rumput tetangga memang lebih nikamat,” Merka sangat iri terhadap kelas tetangga dengan guru yang selal

penyesalan

beberapa kali penyesalan itu datangkarena kita terlalu takut untuk menghadapi  sesuatu, kita terlalu takut untuk mengambil resiko. namun kebanyakan orang beralasan hanya karena mereka tidak ingin gegabah dalam memutuskan sesuatu, karena terkadang ketika kita terlalu cepat dalam memutuskan sesuatu hal itu akan berakhir dengan penyesalan, hanya karena sebuah kecerobohan, padahal tidak selamanya keputusan yang kita ambil itu akan berakhir dengan tragis, bahkan penyesalan itu juga akan datang ketika kita terlalu lama mengambil sebuah keputusan hanya karena kita takut untuk memilih dan menghadapi resiko terhadap apa yang sudah kita pilih. saya kira semua orang pasti pernah mengalami hal semacam itu,   namun apakah selamanya kita akan berhati-hati untuk tidak mengambil resiko ? kapan kita akan berani menjalani segala resiko atas keputusan yang aku ambil ? padahal kita tau bahwa hidup itu penuh dengan pilihan, dan pilihan itulah yang akan menentukan masa depan kita sama halnya seperti